Selasa, 03 Desember 2013

Terjadinya Kemiskinan, Pengangguran dan Kesenjangan Ekonomi di Indonesia

Perekonomian Indonesia sejak krisis ekonomi pada pertengahan 1997 membuat kondisi ketenagakerjaan Indonesia ikut memburuk. Sejak itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tidak pernah mencapai 7-8 persen. Padahal, masalah pengangguran erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi ada, otomatis penyerapan tenaga kerja juga ada. Setiap pertumbuhan ekonomi satu persen, tenaga kerja yang terserap bisa mencapai 400 ribu orang. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 3-4 persen, tentunya hanya akan menyerap 1,6 juta tenaga kerja, sementara pencari kerja mencapai rata-rata 2,5 juta pertahun. Sehingga, setiap tahun pasti ada sisa pencari kerja yang tidak memperoleh pekerjaan dan menimbulkan jumlah pengangguran di Indonesia bertambah.
Masalah kependudukan yang berhubugan erat dengan pengangguran adalah kemiskinan, kemiskinan merupakan problematika kemanusiaan yang telah mendunia dan hingga kini masih menjadi isu sentral di belahan bumi manapun. Selain bersifat laten dan aktual, kemiskinan adalah penyakit sosial ekonomi yang tidak hanya dialami oleh Negara-negara berkembang melainkan negara maju sepeti inggris dan Amerika Serikat. Negara inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri di Eropa. Sedangkan Amerika Serikat bahkan mengalami depresi dan resesi ekonomi pada tahun 1930-an dan baru setelah tiga puluh tahun kemudian Amerika Serikat tercatat sebagai Negara Adidaya dan terkaya di dunia.
Masyarakat miskin sering menderita kekurangan gizi, tingkat kesehatan yang buruk, tingkat buta huruf yang tinggi, lingkungan yang buruk dan ketiadaan akses infrastruktur maupun pelayanan publik yang memadai. Daerah kantong-kantong kemiskinan tersebut menyebar diseluruh wilayah Indonesia dari dusun-dusun di dataran tinggi, masyarakat tepian hutan, desa-desa kecil yang miskin, masyarakat nelayan ataupuin daerah-daerah kumuh di perkotaan.
Salah satu akar permasalahan kemiskinan di Indonesia yakni tingginya disparitas antar daerah akibat tidak meratanya dsistribusi pendapatan, sehingga kesenjangan antara masyarakat kaya dan masyarakat miskin di Indonesia semakin melebar. Misalnya saja tingkat kemiskinan anatara Nusa Tenggara Timur dan DKI Jakarta atau Bali, disparitas pendapatan daerah sangat besar dan tidak berubah urutan tingkat kemiskinannya dari tahun 1999-2002. Namun tidak hanya itu, berikut adalah beberapa penyebab lain terjadinya kemiskinan di Indonesia.
A.    Penyebab terjadinya kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan pendapatan
a.       Sebab terjadinya kemiskinan
Pada umumnya di negara Indonesia penyebab-penyebab kemiskinan adalah sebagai berikut:
1.       Laju Pertumbuhan Penduduk.
Pertumbuhan penduduk Indonesia terus meningkat di setiap 10 tahun menurut hasil sensus penduduk. Meningkatnya jumlah penduduk membuat Indonesia semakin terpuruk dengan keadaan ekonomi yang belum mapan. Jumlah penduduk yang bekerja tidak sebanding dengan jumlah beban ketergantungan. Penghasilan yang minim ditambah dengan banyaknya beban ketergantungan yang harus ditanggung membuat penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.
2.      Angkatan Kerja, Penduduk yang Bekerja dan Pengangguran.
Secara garis besar penduduk suatu negara dibagi menjadi dua yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Yang tergolong sebagi tenaga kerja ialah penduduk yang berumur didalam batas usia kerja. Batasan usia kerja berbeda-beda disetiap negara yang satu dengan yang lain. Batas usia kerja yang dianut oleh Indonesia ialah minimum 10 tahun tanpa batas umur maksimum. Jadi setiap orang atausemua penduduk kesenjangan dikatakan lunak, distribusi pendapatan nasional dikatakan cukup merata.
Pendapatan penduduk yang didapatkan dari hasil pekerjaan yang mereka lakukan relatif tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari sedangkan ada sebagian penduduk di Indonesia mempunyai pendapatan yang berlebih.
3.       Tingkat pendidikan yang rendah.
Rendahnya kualitas penduduk juga merupakan salah satu penyebab kemiskinan di suatu negara. Ini disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan tenaga kerja. Untuk adanya perkembangan ekonomi terutama industry, jelas sekali dibutuhkan lebih banyak tenaga kerja yang mempunyai skill atau paling tidak dapat membaca dan menulis.
4.       Kurangnya perhatian dari pemerintah.
Pemerintah yang kurang peka terhadap laju pertumbuhan masyarakat miskin dapat menjadi salah satu faktor kemiskinan. Pemerintah tidak dapat memutuskan kebijakan yang mampu mengendalikan tingkat kemiskinan di negaranya.
b.      Sebab terjadinya pengangguran
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pengganguran adalah sebagai berikut:
1.      Besarnya Angkatan Kerja Tidak Seimbang dengan Kesempatan Kerja
Ketidakseimbangan terjadi apabila jumlah angkatan kerja lebih besar daripada kesempatan kerja yang tersedia. Kondisi sebaliknya sangat jarang terjadi.
2.      Struktur Lapangan Kerja Tidak Seimbang
3.      Kebutuhan jumlah dan jenis tenaga terdidik dan penyediaan tenaga terdidik tidak seimbang.
Apabila kesempatan kerja jumlahnya sama atau lebih besar daripada angkatan kerja, pengangguran belum tentu tidak terjadi. Alasannya, belum tentu terjadi kesesuaian antara tingkat pendidikan yang dibutuhkan dan yang tersedia. Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan sebagian tenaga kerja yang ada tidak dapat mengisi kesempatan kerja yang tersedia.
4.      Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Kerja antar daerah tidak seimbang
Jumlah angkatan kerja disuatu daerah mungkin saja lebih besar dari kesempatan kerja, sedangkan di daerah lainnya dapat terjadi keadaan sebaliknya. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan perpindahan tenaga kerja dari suatu daerah ke daerah lain, bahkan dari suatu negara ke negara lainnya.
c.       Sebab terjadinya kesenjangan pendapatan
Adapun indikator-indikator kesenjangan Pendapatan, antara lain sebagi berikut:
1.      UMR yang ditentukan pemerintah antara pegawai swasta dan pegawai Pemerintah yang sangat berbeda.
2.      PNS (golongan atas) lebih sejahtera dibandingkan petani
3.      Pertanian kalah jauh dalam meyuplai Produk Domestik Bruto (PDB) yang hanya sekitar 9,3% di tahun 2011, padahal Indonesia merupakan Negara agraris
B.     Dampak yang terjadi akibat adanya kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan pendapatan
Tujuan akhir pembangunan ekonomi suatu negara pada dasarnya adalah meningkatkan kemakmuran masyarakat dan pertumbuhan ekonomi agar stabil dan dalam keadaan naik terus. Jika tingkat pengangguran di suatu negara relatif tinggi, hal tersebut akan menghambat pencapaian tujuan pembangunan ekonomi yang telah dicita-citakan.
Hal ini terjadi karena pengganguran berdampak negatif terhadap kegiatan perekonomian, seperti yang dijelaskan di bawah ini:
1.      Pengangguran bisa menyebabkan masyarakat tidak dapat memaksimalkan tingkat kemakmuran yang dicapainya. Hal ini terjadi karena pengangguran bisa menyebabkan pendapatan nasional riil (nyata) yang dicapai masyarakat akan lebih rendah daripada pendapatan potensial (pendapatan yang seharusnya). Oleh karena itu, kemakmuran yang dicapai oleh masyarakat pun akan lebih rendah.
2.      Pengangguran akan menyebabkan pendapatan nasional yang berasal dari sector pajak berkurang. Hal ini terjadi karena pengangguran yang tinggi akan menyebabkan kegiatan perekonomian menurun sehingga pendapatan masyarakat pun akan menurun. Dengan demikian, pajak yang harus dibayar dari masyarakat pun akan menurun. Jika penerimaan pajak menurun, dana untuk kegiatan ekonomi pemerintah juga akan berkurang sehingga kegiatan pembangunan pun akan terus menurun.
3.      Pengangguran tidak menggalakkan pertumbuhan ekonomi. Adanya pengangguran akan menye-babkan daya beli masyarakat akan berkurang sehingga permintaan terhadap barang-barang hasil produksi akan berkurang. Keadaan demikian tidak merangsang kalangan Investor (pengusaha) untuk melakukan perluasan atau pendirian industri baru. Dengan demikian tingkat investasi menurun sehingga pertumbuhan ekonomipun tidak akan terpacu.
Dampak dari kemiskinan terhadap masyarakat umumnya begitu banyak dan kompleks.
1.      pengangguran. Sebagaimana kita ketahui jumlah pengangguran terbuka tahun 2007 saja sebanyak 12,7 juta orang. Jumlah yang cukup “fantastis” mengingat krisis multidimensional yang sedang dihadapi bangsa saat ini.
Dengan banyaknya pengangguran berarti banyak masyarakat tidak memiliki penghasilan karena tidak bekerja. Karena tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Secara otomatis pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli masyarakat. Sehingga, akan memberikan dampak secara langsung terhadap tingkat
2.      kekerasan. Sesungguhnya kekerasan yang marak terjadi akhir-akhir ini merupakan efek dari pengangguran. Karena seseorang tidak mampu lagi mencari nafkah melalui jalan yang benar dan halal. Ketika tak ada lagi jaminan bagi seseorang dapat bertahan dan menjaga keberlangsungan hidupnya maka jalan pintas pun dilakukan. Misalnya, merampok, menodong, mencuri, atau menipu [dengan cara mengintimidasi orang lain] di atas kendaraan umum dengan berpura-pura kalau sanak keluarganya ada yang sakit dan butuh biaya besar untuk operasi. Sehingga dengan mudah ia mendapatkan uang dari memalak.
3.      pendidikan. Tingkat putus sekolah yang tinggi merupakan fenomena yang terjadi dewasa ini. Mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat miskin tidak dapat lagi menjangkau dunia sekolah atau pendidikan. Jelas mereka tak dapat menjangkau dunia pendidikan yang sangat mahal itu. Sebab, mereka begitu miskin. Untuk makan satu kali sehari saja mereka sudah kesulitan.
4.      kesehatan. Seperti kita ketahui, biaya pengobatan sekarang sangat mahal. Hampir setiap klinik pengobatan apalagi rumah sakit swasta besar menerapkan tarif atau ongkos pengobatan yang biayanya melangit. Sehingga, biayanya tak terjangkau oleh kalangan miskin.
5.      konflik sosial bernuansa SARA. Tanpa bersikap munafik konflik SARA muncul akibat ketidakpuasan dan kekecewaan atas kondisi miskin yang akut. Hal ini menjadi bukti lain dari kemiskinan yang kita alami. M Yudhi Haryono menyebut akibat ketiadaan jaminan keadilan “keamanan” dan perlindungan hukum dari negara, persoalan ekonomi-politik yang obyektif disublimasikan ke dalam bentrokan identitas yang subjektif.
Terlebih lagi fenomena bencana alam yang kerap melanda negeri ini yang berdampak langsung terhadap meningkatnya jumlah orang miskin. Kesemuanya menambah deret panjang daftar kemiskinan. Dan, semuanya terjadi hampir merata di setiap daerah di Indonesia. Baik di perdesaan maupun perkotaan.
Dan antara penggaruran, kemiskinan dan kesenjangan pendapatan saling berhubungan dan mempunyai dampak yang cukup besar bagi negara.
C.     Kebijakan kebijakan untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan pendapatan
Kebijakan – Kebijakan Pengangguran
Adanya bermacam-macam pengangguran membutuhkan cara-cara mengatasinya yang disesuaikan dengan jenis pengangguran yang terjadi, yaitu sbb :
1.      Cara Mengatasi Pengangguran Struktural
 Untuk mengatasi pengangguran jenis ini, cara yang digunakan adalah :
a.       Peningkatan mobilitas modal dan tenaga kerja
b.      Segera memindahkan kelebihan tenaga kerja dari tempat dan sector yang kelebihan ke tempat dan sector ekonomi yang kekurangan
c.       Mengadakan pelatihan tenaga kerja untuk mengisi formasi kesempatan (lowongan) kerja yang kosong, dan
d.      Segera mendirikan industri padat karya di wilayah yang mengalami pengangguran.
2.      Cara Mengatasi Pengangguran Friksional
 Untuk mengatasi pengangguran secara umum antara lain dapat digunakan cara-cara sebagai berikut:
a.       Perluasan kesempatan kerja dengan cara mendirikan industri-industri baru, terutama yang bersifat padat karya
b.      Deregulasi dan Debirokratisasi di berbagai bidang industri untuk merangsang timbulnya investasi baru
c.       Menggalakkan pengembangan sector Informal, seperti home indiustri.
d.      Menggalakkan program transmigrasi untuk me-nyerap tenaga kerja di sector agraris dan sector formal lainnya
e.       Pembukaan proyek-proyek umum oleh peme-rintah, seperti pembangunan jembatan, jalan raya, PLTU, PLTA, dan lain-lain sehingga bisa menyerap tenaga kerja secara langsung maupun untuk merangsang investasi baru dari kalangan swasta.
3.      Cara Mengatasi Pengangguran Musiman.
Jenis pengangguran ini bisa diatasi dengan cara :
a.       Pemberian informasi yang cepat jika ada lowongan kerja di sector lain,
b.      Melakukan pelatihan di bidang keterampilan lain untuk memanfaatkan waktu ketika menunggu musim tertentu.
4.      Cara mengatasi Pengangguran Siklus
Untuk mengatasi pengangguran jenis ini adalah :
a.       Mengarahkan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa, dan
b.      Meningkatkan daya beli Masyarakat
Bantuan kemiskinan, atau membantu secara langsung kepada orang miskin. Ini telah menjadi bagian pendekatan dari masyarakat Eropa sejak zaman pertengahan.
Bantuan terhadap keadaan individu. Banyak macam kebijakan yang dijalankan untuk mengubah situasi orang miskin berdasarkan perorangan, termasuk hukuman, pendidikan, kerja sosial, pencarian kerja, dan lain-lain.
Persiapan bagi yang lemah. Daripada memberikan bantuan secara langsung kepada orang miskin, banyak negara sejahtera menyediakan bantuan untuk orang yang dikategorikan sebagai orang yang lebih mungkin miskin, seperti orang tua atau orang dengan ketidakmampuan, atau keadaan yang membuat orang miskin, seperti kebutuhan akan perawatan kesehatan


contoh kasus Etika Bisnis "ENRON"

Enron Corporation adalah sebuah perusahaan energi Amerika yang berbasis di Houston, Texas, Amerika Serikat. Sebelum bangkrutnya pada akhir 2001, Enron mempekerjakan sekitar 21.000 orang pegawai dan merupakan salah satu perusahaan terkemuka di dunia dalam bidang listrik, gas alam, bubur kertas dan kertas, dan komunikasi. Enron mengaku penghasilannya pada tahun 2000 berjumlah $101 miliar. Fortune menamakan Enron "Perusahaan Amerika yang Paling Inovatif" selama enam tahun berturut-turut. Enron menjadi sorotan masyarakat luas pada akhir 2001, ketika terungkapkan bahwa kondisi keuangan yang dilaporkannya didukung terutama oleh penipuan akuntansi yang sistematis, terlembaga, dan direncanakan secara kreatif. Operasinya di Eropa melaporkan kebangkrutannya pada 30 November 2001, dan dua hari kemudian, pada 2 Desember, di AS Enron mengajukan permohonan perlindungan Chapter 11. Saat itu, kasus itu merupakan kebangkrutan terbesar dalam sejarah AS dan menyebabkan 4.000 pegawai kehilangan pekerjaan mereka.
Tuntutan hukum terhadap para direktur Enron, setelah skandal tersebut, sangat menonjol karena para direkturnya menyelesaikan tuntutan tersebut dengan membayar sejumlah uang yang sangat besar secara pribadi. Selain itu, skandal tersebut menyebabkan dibubarkannya perusahaan akuntansi Arthur Andersen, yang akibatnya dirasakan di kalangan dunia bisnis yang lebih luas, seperti yang digambarkan secara lebih terinci di bawah.
Enron masih ada sekarang dan mengoperasikan segelintir aset penting dan membuat persiapan-persiapan untuk penjualan atau spin-off sisa-sisa bisnisnya. Enron muncul dari kebangkrutan pada November 2004 setelah salah satu kasus kebangkrutan terbesar dan paling rumit dalam sejarah AS. Sejak itu, Enron menjadi lambang populer dari penipuan dan korupsi korporasi yang dilakukan secara sengaja.
·         Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Enron

Ø  Kasus ENRON DAN KAP ARTHUR ANDERSEN
Enron Corporation adalah sebuah perusahaan energi Amerika yang berbasis di Houston,Texas, Amerika Serikat. Sebelum bangkrutnya pada akhir 2001, Enron mempekerjakansekitar 21.000 orang pegawai dan merupakan salah satu perusahaan terkemuka di dunia dalam bidang listrik, gas alam, bubur kertas dan kertas, dan komunikasi. Enron mengaku penghasilannya pada tahun 2000 berjumlah $101 milyar.
Fortune menamakan Enron"Perusahaan Amerika yang Paling Inovatif" selama enam tahun berturut-turut. Enron menjadisorotan masyarakat luas pada akhir 2001, ketika terungkapkan bahwa kondisi keuangan yangdilaporkannya didukung terutama oleh penipuan akuntansi yang sistematis, terlembaga, dandirencanakan secara kreatif. Operasinya di Eropa melaporkan kebangkrutannya pada 30 November 2001, dan dua hari kemudian, pada 2 Desember, di AS Enron mengajukan permohonan perlindungan Chapter 11. Saat itu, kasus itu merupakan kebangkrutan terbesar dalam sejarah AS dan menyebabkan 4.000 pegawai kehilangan pekerjaan mereka.Tuntutan hukum terhadap para direktur Enron, setelah skandal tersebut, sangat menonjolkarena para direkturnya menyelesaikan tuntutan tersebut dengan membayar sejumlah uang yang sangat besar secara pribadi. Selain itu, skandal tersebut menyebabkan dibubarkannya perusahaan akuntansi Arthur Andersen, yang akibatnya dirasakan di kalangan dunia bisnisyang lebih luas, seperti yang digambarkan secara lebih terinci di bawah.Enron masih ada sekarang dan mengoperasikan segelintir aset penting dan membuat persiapan-persiapan untuk penjualan atau spin-off  sisa-sisa bisnisnya. Enron muncul darikebangkrutan pada November 2004 setelah salah satu kasus kebangkrutan terbesar dan palingrumit dalam sejarah AS. Sejak itu, Enron menjadi lambang populer dari penipuan dan korupsikorporasi yang dilakukan secara sengaja.Dalam kasus Enron diketahui terjadinya perilaku moral hazard diantaranya manipulasilaporan keuangan dengan mencatat keuntungan 600 juta Dollar AS, padahal perusahaanmengalami kerugian. Manipulasi keuntungan disebabkan keinginan perusahaan agar sahamtetap diminati investor, kasus memalukan ini konon ikut melibatkan orang dalam gedung putih, termasuk wakil presiden Amerika Serikat.


Sindikat Lembaga Keuangan Internasional Penghancur Iklim Global

Lembaga Keuangan Internasional dan Ketidakadilan Ekonomi
Dampak yang sangat besar akibat kegagalan proyek-proyek yang dibiayai utang luar negeri, telah melahirkan penolakan atas model pembangunan neoliberalisme dewasa ini. Sebuah sistem ”ekonomi keruk” yang melapangkan jalan bagi pemilik kapital atas sumber-sumber kekayaan ekonomi di negara-negara penghutang. Kondisi yang melahirkan situasi kemiskinan di negara dunia ketiga dan kesejahteraan bagi negara industri maju saat ini.
Proyek dan program utang luar negeri atas sponsor lembaga kreditor seperti IMF, Bank Dunia, ADB, JBIC, dll telah menimbulkan biaya sosial yang sangat besar. Seperti pengusiran paksa, penggusuran, kerusakan lingkungan dan korupsi. Penemuan-penemuan empiris mengenai hal ini menyebutkan bahwa biaya yang ditanggung sebuah negara untuk merehabilitasi dampak yang ditimbulkan akibat sebuah proyek utang justeru lebih besar dari utang baru yang diterima. Penyebabnya adalah kebijakan penyesuaian struktural lembaga-lembaga kreditor yang menghiraukan kapasitas negara-negara peminjam untuk menanggungnya. Salah satu yang menyebabkan kebijakan seperti pengurangan subsidi, privatisasi, dan liberalisasi ekonomi justeru memperburuk kwalitas kehidupan rakyat.
Sebuah laporan UNICEF menunjukan bahwa berbagai program penyesuaian struktural Bank Dunia dan IMF secara substansial bertanggung jawab atas menurunnya tingkat kesehatan, gizi, dan pendidikan puluhan juta anak di dunia ketiga. Di Indonesia, penyesuaian struktural menyebabkan semakin bertumpuknya utang luar negeri dan termasuk negara yang paling lambat keluar dari dampak krisis ekonomi 1997 – 1998.
Beban utang yang besar juga memaksa negara negara miskin dan berkembang melakukan ekstraksi sumber daya alamnya untuk melayani pembayaran utang kepada negara maju. Apalagi, dampak perubahan iklim (bencana banjir, kekeringan, dan badai) menyebabkan negara miskin membutuhkan sumberdaya yang signifikan untuk merehabilitasi dampak dari bencana. Sebuah laporan yang dikeluarkan OXFAM, menyebutkan bahwa negara miskin membutuhkan setidaknya $50 miliar per tahun untuk program rehibilitasi dan perlindungan terhadap dampak perubahan iklim.
Di tingkat domestik, hal ini berkorelasi dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan export sumber bahan mentah seperti karet, kopi, sawit, minyak dan gas. Sebuah tindakan untuk memenuhi hasrat kapital dengan mengorbankan hutan alam dan kerusakan lahan-lahan agraria akibat eksplorasi pertambangan di semua negara penghutang.
Bukannya mengkoreksi kebijakan keliru ini, kebijakan ini ditanggapi secara serius oleh lembaga-lembaga keuangan internasional dengan memberikan utang baru untuk mengintensifkan dan memperluas jangkauan produksi industri-industri tersebut. Terhitung sejak tahun 1992 – 2004, grup Bank Dunia telah menyetujui skema utang sebesar $11 miliar untuk membiayai 128 proyek energi fosil di 45 negara, termasuk ekstraksi, pembangkit listrik, serta kebijakan reformasi sector energi. Hasil perhitungan yang telah dilakukan, proyek-proyek tersebut menyumbang sekitar 43,4 miliar ton emisi karbon dioksida bagi penduduk dunia. Parahnya, Hampir dari setengah dari proyek untuk minyak, gas, dan batubara yang disponsori bank dunia tersebut (dan lebih dari 80% proyek untuk minyak) didesain untuk memenuhi kebutuhan pasar global, terutama di Negara-negara industri maju.
Dalam menjalankan proyek-proyek utang baru tersebut, pihak kreditor mewajibkan negara penghutang untuk menjalankan agenda-agenda penyesuaian struktural seperti melakukan privatisasi dan liberalisasi ekonomi. Misalnya agenda privatisasi air, program administrasi pertanahan, serta reformasi sektor kehutanan bagi masuknya investasi baru. Agenda tersebut pada kenyataannya justeru mendorong kerentanan terhadap lahirnya bencana ekologis baru di negara penghutang.
Sudahlah negara miskin dan berkembang menerima dampak kebijakan ekonomi neoliberal yang keliru, seperti pembayaran utang yang besar, bencana lingkungan, konflik sosial dan pelanggaran HAM, serta ”pengurasan” sumber daya alam. Mereka juga harus menanggung akibat langsung pemanasan global yang disebabkan oleh sumbangan emisi karbon dari model pertumbuhan ekonomi negara industri maju.
Gagasan model pembangunan adil dan berkelanjutan yang telah direspon oleh para lembaga pemberi utang, tidaklah mengurangi cacat bawaan dari praktek lembaga-lembaga keuangan tersebut dalam sindikasi praktek kotor penyaluran utang. Bahkan, di tengah kondisi ketergantungan para elit di negara penerima utang terhadap dana utang, menyebabkan pemerintah negara-negara peminjam tidak akan berani menyulut pertentangan dengan pihak kreditor, meskipun terdapat berbagai kesalahan dan penyelewengan sebuah proyek [Raffer, 1999].
Lembaga Keuangan Internasional dan Kolonialisme Baru
Lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti IMF, Bank Dunia, dan Asian Development Bank, tidak hanya dipandang telah bersikap tidak transparan dan tidak akuntabel. Keduanya diyakini telah bekerja sebagai kepanjangan tangan negara-negara Dunia Pertama pemegang saham utama mereka, untuk mengintervensi negara-negara penerima utang (Rich, 1999; Stiglitz, 2002; Pincus dan Winetrs, 2004).
Keberadaan Bank Dunia dan IMF, yang ditopang oleh negara-negara industri kaya lainnya melakukan upaya sistematis dalam menghadirkan pola baru kolonialisme pusat-pusat kapitalisme dunia di bawah kepemimpinan Amerika. Hal ini bisa dilihat dari tujuan pendirian dan sistem pengambilan keputusan yang berlaku di kedua lembaga ini. Berbagai persyaratan (conditionalities) yang menyertai setiap transaksi utang, digunakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi negara maju. Misalnya kewajiban memakai konsultan asing, teknologi serta barang-barang produksi yang berasal dari negara yang meminjamkan utang.
Memburuknya tingkat kesejahteraan masyarakat dunia dewasa ini, wajar kiranya jika dikatakan bahwa penyaluran utang luar negeri selama ini hanyalah sebagai alat untuk ”menguras dunia” dan menyebarluaskan kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru dunia. Demi tujuan tersebut negara-negara kreditor melancarkan intervensinya pada negara-negara pengutang dengan cara melanggengkan rezim-rezim ”pelayan”. Rezim boneka ini bekerja untuk melahirkan kebijakan yang sesuai dengan keinginan negara-negara maju pemegang saham utama lembaga keuangan internasional sesuai keinginan AS.
Lembaga Keuangan Internasional dan Penghancuran Iklim

“Menambang” Utang
Maraknya isu perubahan iklim akhir-akhir ini mengharuskan tiap-tiap Negara di dunia memformulasikan kebijakan mengenai pengurangan (mitigasi) emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor energinya. Namun yang perlu dilihat bahwa terjadinya global warming tidak terlepas dari peran lembaga keuangan Internasional seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) yang telah beroperasi berpuluh-puluh tahun untuk membiayai proyek yang menyebabkan terjadinya deforestasi dan penggunaan energi fosil sebagai menyumbang terbesar terjadinya pemanasan global. Menjadi sangat ironis jika sekarang lembaga keuangan internasional tersebut berperan menjadi penyelamat lingkungan dengan mendorong inisiatif untuk mengatasi pemanasan global, karena mereka selama bertahun-tahun telah mendukung proyek penghancuran iklim global dengan utang yang mereka kucurkan kepada korporasi dan pemerintah negara berkembang.
Dalam Laporan rutin International Financial Corporation (IFC) tahun 2007 menyebutkan bahwa Bank Dunia memberikan utang ke sektor swasta (private sector loan) lebih dari $645 Million kepada perusahaan minyak dan gas bumi1. Jumlah ini meningkat 40 % dibandingkan tahun 2006. Disamping itu komitmen Bank Dunia untuk membiayai perusahaan swasta yang bergerak di sektor energi pada tahun 2006 meningkat dari $2.8 billion to $4.4 billion. Sektor minyak dan gas serta pembangkit tenaga memperoleh porsi terbesar dengan 77% dari total komitmen sedangkan sektor energi terbarukan hanya memperoleh 5 % dari total komitmen2.
Jelas bahwa IFC yang termasuk dalam group Bank Dunia telah mendorong terjadinya pemanasan global dengan melalui utang yang mereka berikan kepada sektor swasta untuk membiayai ekstraksi sumber daya alam terutama energi fosil yang meyebabkan meningkatnya emisi karbon.
World Bank Group Extractive Industries Projects FY05 & FY06
(million US$) FY05 FY06 % change

All Extractives
Fossil Fuels
All Extractives
Fossil Fuels
All Extractives
Fossil Fuels
World Bank
327
101,8
452
414
38%
307%
IFC
334,3
274
533,98
454,5
60%
66%
MIGA
94
75
110
0
17%
-100%
World Bank Group
755,3
450,8
1096
869
45%
93%
Sumber : Laporan IFC tahun 2007 diolah
Telah terjadi peningkatan jumlah uang untuk membiayai proyek di industri ekstraktif sebesar 60% dari tahun 2005 yang diberikan IFC kepada perusahaan multinasional, sedangkan proyek untuk ekstraksi bahan bakar minyak meningkat sebesar 66%. Group Bank Dunia terutama IFC yang lebih memilih membiayai perusahaan multinasional yang bergerak dibidang ekstraksi minyak dan gas, didasari pada keuntungan yang akan kembali atau dengan kata lain Bank Dunia lebih memilih menerapkan bisnis as usual dalam praktek kerjanya. Hal ini menunjukkan bahwa Bank Dunia akan mengabaikan faktor pembangunan yang berkelanjutan asalkan dapat memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
Menjarah SDA Indonesia
Untuk membayar kompensasi bail-out sebesar US$43 miliar di tahun 1997, Indonesia harus mengupayakan kembali keseimbangan neraca pembayaran dan mengimplementasikan reformasi kebijakan terutama di sektor publik. Hal ini terkait kebijakan pemotongan subsidi, privatisasi BUMN dan perluasan peran swasta. Beberapa paket resep generik IMF dan Bank Dunia dikemas dalam Letter of Intent (LoI), dan wajib diimplementasikan dalam kebijakan pemerintah.
Lewat LOI antara pemerintah Indonesia dan IMF menyebabkan terjadinya peningkatan ekstraksi sumberdaya alam terutama kayu dan peningkatan lahan produksi kelapa sawit. Hal ini disebabkan karena dalam poin-poin perjanjian dalam LOI menghendaki pemerintah Indonesia untuk meningkatkan pendapatan melalui peningkatan eksport terutama hasil hutan. Dalam LOI pasal 37 mensyaratkan pemerintah untuk mengurangi pajak eksport atas kayu utuh, kayu olahan, rotan dan mineral maksimum 30 persen pada 15 april 1998 dan 10 persen pada desember 2000.
Selain itu IMF juga mensyaratkan untuk mengganti hambatan eksport untuk minyak kelapa sawit dengan pajak sebesar 40%. Besarnya pajak ini akan ditinjau ulang secara reguler untuk memungkinkan dilakukannya pengurangan berdasarkan harga pasar dan nilai tukar. Besarnya pajak akan turun hingga 10 persen pada akhir desember 1999. sedangkan dalam pasal 39 mengharuskan pemerintah untuk membuka kembali pintu investasi asing, hal ini dibuktikan oleh pemerintah dengan menghilangkan hambatan investasi asing di perkebunan kelapa sawit pada Februari 1998.
Tidak hanya itu, lewat program penyesuaian struktural Bank Dunia dan ADB juga memberikan utang yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam. Bank Dunia misalnya mendesak untuk meliberalisasi pengelolaan sumber daya air lewat utang sebesar US$ 300 juta untuk program Water resources structural adjustment loan (WATSAL).
Pinjaman
Perihal
Lembaga donor
US$ 1 milyar
Policy reform support loan
Bank Dunia
US$ 500 juta
Policy reform support loan II
Bank Dunia
US$ 300 juta
Water resources structural adjustment loan (WATSAL)
Bank Dunia
US$ 50 juta
Land administration project I
Bank Dunia
US$ 60 juta
Land administration project II
Bank Dunia
US$ 64 juta
Land management policy and development project (LMPDP)
Bank Dunia
US$ 400 juta
Power sector restructuring program
ADB
Sumber : Diolah dari berbagai sumber
Terkait dengan upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), Bank Dunia sangat merekomendasikan untuk penggunaan teknologi penyimpanan energi karbon (carbon capture and storage/CCS)dan teknologi batu bara bersih (clean coal technology/CCT) hal ini terlhat dalam Investment framework Bank Dunia tentang energi bersih dan pembangunan 2006 yang menyatakan bahwa proyek CCS dan CCT akan mendapat prioritas dukungan dana.
Dengan merekomendasikan kedua proyek ini maka jelas Bank Dunia ingin memperbesar keuntungan dengan memaksakan penggunaan teknologi ini dinegara berkembang. Hal ini disebabkan karena utang luar negeri juga merupakan alat untuk transaksi barang dan jasa terutama teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Selain itu teknologi tersebut tidak menjamin pengurangan emisi karbon secara drastis terlebih biaya proyek tersebut sangat mahal. Adaptasi kedua proyek tersebut pada negara berkembang termasuk Indonesia akan semakin memperpuruk negara ini dalam jerat utang.
Penghapusan Utang Haram (Oudius Debt) dan Tidak Sah (Illegitimate Debt)
Sejak lama Negara-negara di dunia ketiga, termasuk Indonesia menanggung beban utang besar yang diwarisi oleh rezim yang tidak bertanggung jawab. Kebijakan penyaluran utang yang mulai marak sejak tahun 1970 – 1980-an, mengharuskan lembaga keuangan internasional melihat peluang bagi ketahanan ekonomi Negara-negara maju. Peningkatan harga minyak yang luar biasa, telah menjadikan proyek pembiayaan industri-industri ekstaktif, terutama minyak dan gas di Negara dunia ketiga, sebagai primadona bagi kreditor untuk menemukan cadangan minyak baru di luar Negara-negara yang menjadi kartel OPEC. Di samping latar belakang politik untuk menghadang pengaruh gerakan komunisme di dunia ketiga pasca perang dingin.
Kedua motif tersebut tidaklah menghalangi para kreditor mengucurkan utang yang sangat besar, meskipun kepada rezim diktator yang tengah berkuasa di hampir semua Negara di dunia ketiga. Bahkan, ditenggarai pihak kreditor menjadi salah satu kekuatan penyokong bertahannya rezim-rezim “anti komunis” tersebut. Akibatnya banyak dari proyek-proyek utang disalahgunakan. Penyalahgunaan tersebut antara lain adalah pembelian senjata untuk melumpuhkan kekuatan opisisi, proyek-proyek yang tidak bermanfaat, serta praktek korupsi hasil kerjasama dengan para konsultan lembaga-lembaga pemberi utang.
Akibat yang paling parah adalah penerapan kebijakan ekonomi neoliberalisme yang dipaksakan oleh pihak kreditor. Bagian ini menyumbang kerusakan yang sangat mendasar dan luas, karena dampak yang ditimbulkan adalah perubahan bangunan sistem ekonomi nasional yang menjadi pelayan kebutuhan industri Negara-negara maju.

Hingga akhirnya semua beban utang itu bertumpuk, dan ditanggung oleh generasi yang tidak semestinya bertanggung jawab. Data yang diperoleh dari terbitan Bank Dunia (Global Development Finance) tahun 2000 memperlihatkan kondisi krisis beban utang yang teramat parah. Negara-negara berkembang pada tahun 1999 memiliki utang lebih dari US 100 miliar. Negara-negara tersebut meliputi Argentina (147,8 miliar dolar), Brasil (244,7 miliar dolar), Cina (154,2 miliar dolar), Indonesia (150,1 miliar dolar) dan Rusia (174,9 miliar dolar).
Sementara itu, jika dilihat dari rasio utang terhadap PDB, jumlah negara yang pada tahun 1999 memiliki rasio di atas 100% adalah Angola (367%), Burundi (161%), Kamerun (108%), Komoro (105%), Republik Demokrasi Kongo (tahun 1994, 196% sedangkan tahun 1999 tidak ada data), Republik Kongo (303%), Pantai Gading (126%), Gabon (104%), Gambia (119%), Honduras (102%), Indonesia (113%), Yordania (113%), Laos (185%), Madagaskar (120%), Malawi (155%), Mali (124%), Mozambik (187%), Nikaragua (341%), Sudan (183%), Zambia (195%).
Diperlukan sebuah langkah maju mengatasi situasi ini. Saatnya kita menghentikan siklus penghisapan negara-negara dunia ketiga oleh negara-negara maju. Pembayaran utang lama yang besar, serta proyek-proyek utang baru yang menghancurkan ekologi dan berkontribusi pada kehancuran iklim di negara-negara dunia ketiga mutlak dihentikan. Pararel dengan itu, saatnya pihak kreditor mendukung pembangunan yang adil dan berkelanjutan dengan menghentikan segala bentuk skema utang baru yang semakin memperparah kondisi kehidupan rakyat di negara-negara dunia ketiga.
Keterlibatan serta Inisiatif pencegahan (mitigasi) terhadap dampak perubahan iklim oleh kreditor adalah dengan mengakui adanya kesalahan dan praktek kotor pemberian utang selama ini. Yang menyebabkan kemiskinan, keterbelakangan dan meningkatkan kerentanan atas bencana di negara-negara penerima utang. Hal tersebut dapat ditindaklanjuti dengan pemberian skema penghapusan 100% utang luar negeri negara-negara dunia ketiga tanpa syarat. Penghapusan segala bentuk utang haram (oudius debt) dan utang-utang yang tidak sah (Illegitimate debt) ini merupakan beban yang harus ditanggung oleh negara-negara industri maju atas besarnya “utang karbon” yang dihasilkan dari model pembangunan yang tidak seimbang dan tidak adil selama ini.